Gubug Eva Dari Anyaman Tangan Sampai Penghargaan Nasional

bisnisumkmonline.com Gubug Eva Dari Anyaman Tangan Sampai Penghargaan Nasional: Cerita UKM yang Nggak Mau Jadi Biasa-Biasa Aja

Awalnya cuma tenda kecil. Di pojokan Pasar Banyuwangi. Beneran. Lu kalo jalan kaki dari gerbang timur, belok kiri, jalan dikit, ketemu lapak berwarna biru pudar. Tulisan spanduknya semi-luntur, “Gubug Eva – Kerajinan Tangan Tradisional.” Kedengeran klasik. Kayak toko oleh-oleh biasa. Tapi ternyata… bukan sembarang toko.

Gue nemu ini pas liputan acara Festival UKM Kreatif 2024. Semua orang sibuk ngeliput booth yang instagrammable, warna neon, ada photobooth-nya. Tapi ada satu sudut yang rame. Rame bener. Tapi bukan karena gimmick. Tapi karena kerajinan tangannya beda. Rapi. Unik. Dan… somehow… nyentuh.

Gue ngelihat ibu-ibu, remaja, sampe bule-bule beli tas dari anyaman pandan, yang motifnya bukan batik. Tapi glitch art. Iya, motif pixel error ala digital error. Lah, kok bisa?

Gue samperin. Di balik tumpukan kerajinan tangan itu, ada satu ibu. Namanya Eva. Rambutnya dicepol asal. Senyum malu-malu. Tangannya masih bau lem tembak. Gak pake makeup. Tapi karyanya, cuy, masterpiece.

Katanya, dia mulai usaha dari 2016. Waktu itu suaminya kena PHK. Mereka cuma punya modal Rp200 ribu. Beli bahan seadanya. Belajar dari YouTube. Tapi nggak mau bikin yang generik. Gak mau kayak kebanyakan perajin yang niru motif dari Pinterest doang.

Gubug Eva
Gubug Eva

“Gubug Eva itu bukan soal jual kerajinan,” katanya. “Tapi soal ngasih harga pada tangan perempuan kampung.”

Gila. Gue langsung diem.

Lu tau gak sih, dia ngajarin ibu-ibu di kampungnya—Desa Wonosobo, bukan yang di Jawa Tengah, tapi Wonosobo kecil di Banyuwangi—buat bikin kerajinan. Tapi dikurasi ketat. Gak boleh asal bikin. Harus ada cerita. Harus ada motif yang punya makna. Salah satu produk mereka namanya “Tas Trauma”. Terinspirasi dari pengalaman korban KDRT. Lu liat tasnya, motifnya miring-miring. Kayak luka yang disulam. Hasilnya? Menusuk.

Gak heran sih, Gubug Eva akhirnya diganjar penghargaan dari KemenkopUKM di 2024. Bukan cuma karena inovasi produknya. Tapi karena dia berhasil ngebangun sistem ekonomi mikro berbasis solidaritas perempuan desa. Dia bikin sistem upah adil. Nggak pake sistem potong-potong. Setiap produk ada tag nama perajinnya. Jadi pembeli bisa tau, siapa yang bikin. Mirip sistem NFT, tapi manual. Transparan.

Under the hood, mereka juga nggak main-main. Gubug Eva sekarang kerja sama bareng inkubator bisnis lokal dan platform distribusi ke Jepang dan Jerman. Produk mereka udah masuk Tokyo Ethical Bazaar 2025. Dipamerin di antara brand dunia. Tapi tetap bertahan dengan prinsip: semua handmade, semua transparan.

baca juga

Mereka juga nggak jualan di e-commerce biasa. Tapi bikin sistem PO terbatas. Biar produksi bisa sustainable. Mereka anti fast fashion. Gak ngejar volume. Mereka ngejar legacy. Semua orderan harus nunggu 14 hari kerja. Tapi tetap laku keras. Karena tiap tas, dompet, atau taplak punya cerita.

Gue sempat iseng nanya, kenapa sih gak scale up aja? Buka pabrik kecil. Hire lebih banyak orang. Pake mesin semi-otomatis. Jawaban Eva nancep.

“Karena kalau semua serba mesin, kita cuma bikin produk. Tapi aku pengen bikin martabat.”

Lo kebayang gak sih, di zaman AI dan TikTok Shop kayak sekarang, masih ada brand yang ngomongin martabat?

Dan ini bukan omong kosong. Gubug Eva pernah nyelamatin satu keluarga dari lilitan utang pinjol. Salah satu perajinnya, Bu Marni, dulu sempat kerja jadi ART di Surabaya. Tapi diperlakukan kasar. Pulang kampung tanpa arah. Gubug Eva ajarin dia skill, kasih modal, kasih panggung. Sekarang Bu Marni jadi leader produksi.

Produknya pun bukan sekadar cantik. Tapi ngelawan. Salah satu koleksi terbaru mereka: “Anyaman Panik Digital”, motifnya ngegambarin pola notifikasi overthinking. Dan mereka jual bukan cuma fisik, tapi narasi. Lo beli tas, lo dapet QR code yang ngarah ke mini-dokumenter tentang perajinnya. Storytelling yang bukan gimmick. Tapi real.

Lo mungkin mikir, ini UKM idealis doang. Nggak cuan. Bro, menurut data dari laporan akuntan publik yang mereka upload (iya, mereka transparan sampe laporan pajak), omzet Gubug Eva per kuartal 1 2025 tembus Rp620 juta. Bersih. No debt. Semua dari orderan organik. Nggak pake iklan bombastis.

Pemerintah daerah pun sekarang mulai ngajak kolaborasi. Bahkan kampus luar negeri kayak Kyushu University kirim mahasiswa buat magang belajar model usaha Eva.

Dan yang paling goks, tahun ini mereka masuk nominasi SheEO Asia Awards. Bersaing sama startup gede dari Korea dan India. Tapi mereka tetap konsisten. Branding mereka nggak berubah. Tetep humble. Tetep pake bahasa Jawa halus di beberapa packaging. Tetep ada bunga kering di dalam paket. Tetep ada stiker tangan perajin. Karena buat mereka, yang bikin produk itu bukan cuma bahan. Tapi rasa.

Gubug Eva bukan sekadar usaha kerajinan. Tapi gerakan bawah tanah yang ngasih mic ke perempuan desa buat ngomong lewat karya. Dan itu powerful banget.

Buat lo yang baca ini dan ngerasa usaha lo remeh, gak dianggap, gak “pantas” tampil di panggung besar, belajar dari Eva. Gak usah jadi yang paling rame. Yang penting paling niat. Gak usah ngejar trending. Tapi kejar nilai.

Karena kadang… yang kecil, kalau konsisten dan punya misi, bisa ngegerakin dunia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top