Karafuru? Kayak Nama Karakter Anime Campur Aesthetic Pinterest

bisnisumkmonline.com Gue pernah nemu stan kecil di ujung paling pojok pameran Kriyanusa 2024. Jujurly, awalnya nggak ngarep apa-apa. Standar lah ya, booth kriya yang banyak ornamen, warna-warni, ada ukiran-ukiran gitu. Tapi pas gue melipir dan baca nama brand-nya: Karafuru. Langsung nge-freeze. Karafuru? Kayak nama karakter anime campur aesthetic Pinterest.

Ternyata bener, brand ini emang gas pol di segmentasi kriya modern. Tapi nggak ngelupain akar lokalitas. Mereka bukan cuma jualan barang. Mereka jual cerita. Setiap kerajinan tangan dari Karafuru tuh ada narasi di baliknya. Ada filosofi. Ada emosi. Dan yang paling nyangkut di kepala: semua produknya tuh limited, handmade, nggak bakal lo temuin duplikatnya di mall mainstream.

Gue sempet ngobrol bentar sama foundernya, cewek muda asal Yogyakarta. Lulusan seni rupa tapi juga setengah digital marketer. Gila sih, kombinasi dua dunia yang biasanya nggak klop, tapi di tangannya malah jadi senjata. Dia cerita, Karafuru itu bahasa Jepang yang berarti warna-warni. Tapi dia ambil maknanya bukan literal. Dia ngelihat Indonesia juga kaya warna. Dari sabang sampe merauke, tiap daerah punya pattern, tekstur, dan vibe yang beda.

Jadi ya, dia satukan itu. Dalam satu medium. Kayak pouch, scarf, frame kayu, lampu meja, sampe mainan edukatif anak. All handmade. All got story.

Karafuru
Karafuru

Di Kriyanusa kemarin, Karafuru bawa tema “Ruang dan Rasa”. Agak filosofis ya. Tapi waktu lo liat langsung booth-nya, lo ngerasain aura-nya. Gak becanda. Ada aroma kayu bakar, lampu kuning remang, ornamen batik Kalimantan, soundscape alam Bali. Ini bukan sekadar pameran. Ini immersive experience.

Gue nanya, mereka udah go digital belum. Ternyata udah. Tapi nggak ke marketplace. Mereka mainnya di private order, curated platform, dan kolaborasi sama hotel-hotel butik. Bahkan katanya, produk lampu mereka pernah masuk ke salah satu resort di Maldives. Wow. UMKM lokal, tembus Maldives. Udah kayak meme: “Dulu dihina, sekarang lighting kamar lo gue yang bikin.”

Tapi perjalanan mereka nggak mulus. Awal 2023, sempet kena mental karena salah satu partner produksi ninggalin mereka di tengah orderan gede. Rugian berapa juta? Nggak jelas. Tapi yang pasti, stok gagal kirim, rating jeblok di salah satu platform, trust anjlok. Mereka sempet diambang bubar.

Sampai akhirnya si founder ngelakuin hal gila: dia balik ke desa ibunya di Sleman, ngajak ibu-ibu setempat buat bantu produksi. Dia ngajarin dari nol. Dari megang alat sampe QC barang. Setahun kemudian, produksi mereka bukan cuma pulih, tapi malah tumbuh dua kali lipat.

Itu yang bikin Karafuru bukan sekadar produk. Tapi gerakan. Movement. Suatu bentuk community-based business yang ngangkat ekonomi lokal.

Karafuru

Gue sempet iseng cari-cari di Instagram. Ternyata engagement mereka gede. Nggak pake budget iklan gila-gilaan. Mereka main di storytelling. Di edukasi. Mereka posting soal motif, cerita, proses, bahkan gagal produksi. Jujur, humanis, nggak fake.

Dan yang bikin makin relatable, mereka tuh sering banget repost konten user. Jadi komunitasnya hidup. Ada interaksi. Bukan sekadar transaksional. Ini yang bikin brand jadi tahan lama.

Gue bandingin sama beberapa brand kriya lain yang masuk ke pasar Jepang atau Korea. Banyak yang stuck di tahap desain. Bagus, tapi nggak punya cerita. Karafuru beda. Mereka bawa emosi. Mereka bawa rasa. Ada soul-nya.

baca juga

Gue tanya, next step mereka apa. Jawabannya: “Kita lagi riset warna lokal Indonesia yang belum banyak diangkat.” Buset. Ini bukan sekadar branding. Ini udah semi-arkeologis.

Gue makin salut waktu tau mereka kerja sama sama antropolog buat riset makna warna dan pattern di Sumatera Barat. Jadi motif yang mereka cetak di kain bukan asal print. Tapi hasil riset budaya. Itu yang bikin produk mereka punya harga, punya nilai.

Dan ini yang sering dilupain UMKM. Banyak yang kejar viral. Kejar followers. Tapi nggak bangun akar. Padahal yang bikin brand bertahan bukan sekadar viralitas, tapi kedalaman.

Karafuru ngajarin gue satu hal: jadi UMKM itu bukan sekadar jualan. Tapi jadi kurator rasa. Penyambung cerita. Dan itu mahal.

Waktu gue pamit dari booth-nya, si mbak founder bilang, “Jangan pernah sepelein kriya. Karena tiap garis ukiran itu, bisa jadi ada tangan yang berjuang.”

Gue diem. Nggak bisa jawab. Karena gue yakin, bukan cuma dia yang berjuang. Tapi seluruh orang di belakang Karafuru. Dan itu, priceless.

So buat lo yang baca ini, stop mikir UMKM itu level bawah. Karena dari tangan-tangan kecil kayak Karafuru, lahir karya yang ngangkat nama negeri ini. Dan lo bisa jadi bagian dari cerita itu. Bukan cuma sebagai pembeli. Tapi saksi. Bahwa kriya kita, nggak kalah dari luar.

Lo cuma perlu liat lebih deket. Denger lebih pelan. Karena kadang yang paling berisik, justru yang paling kosong. Tapi yang paling bermakna, justru yang nyaris nggak kedengeran.

Dan Karafuru, adalah bisik pelan yang ngubah cara kita liat kriya lokal. Gasss terus.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top