Manaya Bali Carving Udah pernah denger?

bisnisumkmonline.com Manaya Bali Carving Udah pernah denger? Belum? Wajar sih. Ini bukan brand yang muncul tiap lima menit di FYP TikTok lo. Tapi begitu lo ngeliat langsung ukiran mereka… trust me, lo bakal diem. Kayak abis ditampar kayu jati full detail. Bukan main. Ini Bali. Tapi bukan Bali versi turis naik Vespa dan kopi susu 40 ribuan.

Gue dateng ke Kriyanusa 2024. Di tengah booth pameran yang isinya kerajinan khas daerah, ada satu spot yang literally nyala sendiri. Bukan, bukan pakai lampu. Tapi aura. Serius. Ukiran kayu segede pintu rumah. Motifnya rumit, tapi bersih. Kayak antara barong, minimalis, dan IKEA. Gimana tuh?

Nama kecil di pojok plakatnya? Manaya Bali Carving. Lokasi: Sukawati, Gianyar, Bali. Satu-satunya booth yang bikin anak Jaksel mendadak diem. Karena semua langsung mikir: ini siapa sih yang bikin? Kenapa detailnya gila begini?

Gue nanya ke mbak-mbak booth. Namanya Mbak Tia. Logat Bali-nya kentel. Tapi komunikatif. Gue nanya, “Semua handmade ya?” Dia senyum. “Dari zaman kakek.”

Manaya Bali Carving

JENG-JENG. Ini bukan UKM kaleng-kaleng. Ini udah third generation artisan business. Udah ekspor ke Jepang. Australia. Pernah ada order masuk dari Seychelles. Afrika Timur, bos. Lo pikir mereka cuma jualan buat pasar seni Sukawati? Salah besar.

Pendiri mereka, Pak Made. Dulu cuma tukang ukir. Makan pas-pasan. Tapi orang ini keras kepala. Koleksi semua motif Bali kuno. Belajar. Cari filosofinya. Terus dia desain ulang. Bikin Barong versi clean line. Simetris. Gak terlalu ribet.

Reaksi komunitas? Diserbu. Dianggap menghina budaya. Lo tau sendiri. Di Bali, adat + ukiran = sakral. Lo sentuh dikit, bisa viral. Tapi Pak Made ngotot. Kata dia: “Budaya itu bukan fosil. Kalau diem, ya mati.”

Boom. 2020. Pandemi. Pasar seni mati. UMKM banyak tumbang. Tapi Manaya? Mereka switch. Ganti jalur. Full online. Mereka hire anak muda lokal. Bikin foto-foto proper. Estetik ala IKEA x Ubud. Clean. Simple. Tapi soul-nya lokal banget.

Mereka buka di Etsy. Toko global. Terus gabung program ekspor Kemenkop. E-commerce lokal juga dimasukin. Dan satu yang bikin beda: semua ukiran mereka punya nama. Literally dikasih judul kayak karya seni.

baca juga

Salah satu yang viral? “Pintu Kehidupan”. Panel gede. Ukiran Ramayana. Tapi Sinta-nya dikasih ekspresi fierce. Gak pasrah. Gak lemah. Ini udah kayak ngasih statement: cewek Bali bukan tokoh figuran.

Mereka juga udah punya sertifikat HAKI. Semua desain dikunci. Gak bisa ditiru sembarangan. Legalitas lengkap. NIB, OSS, export license. Mereka bukan cuma UKM. Mereka startup kriya.

Manaya Bali Carving
Manaya Bali Carving

Gue juga ngobrol sama anak magang mereka. Dira sama Gung. Mahasiswa ISI Denpasar. Mereka bilang, “Awalnya gue kira ukiran itu basi. Tapi pas masuk workshop-nya Manaya, langsung kena mental.”

Di sana, anak muda boleh eksperimen. Pakai software desain. Ada laser sketch. Tapi finishing tetap manual. Ada sentuhan tangan. Jadi ukiran mereka itu kolaborasi. Antara tech + tradisi. Kayak NFT tapi versi kayu.

Kriyanusa 2024? Jadi pentas utama mereka. Booth-nya rame. Ada menteri mampir. Gue liat sendiri. Media nongkrong di situ. Bahkan orang-orang dari interior design firm luar negeri mulai nanya harga. Nego via WhatsApp langsung.

Instagram mereka clean. Handle: @manaya.carving. Kontennya gak norak. No filter lebay. Semua natural light. Videonya? Time lapse ukiran satu panel dari kosong sampe jadi. Views-nya? 1,2 juta. No ads. Pure organic.

Dan lo harus tau. Harga mereka? Satu panel bisa 10-20 juta. Tapi ada juga produk kecil buat segmen middle-low. Mereka ngerti. Gak semua orang bisa beli Barong full size. Tapi mereka pengen semua orang bisa punya sepotong Bali.

Gue juga nemu cerita dark side-nya. Tahun lalu sempet ada usaha lain nyontek desain mereka. Di print massal. Dijual murah. Tapi Manaya lapor. Pake lawyer lokal. Bawa ke Pengadilan Niaga. Dan menang. Lo kira hukum itu slow? Enggak bro. Kalau lo punya HAKI, bisa dipake buat ngegas balik.

Sekarang? Mereka lagi siapin koleksi baru. Nama serinya: “Ruwatan Digital”. Ukiran tradisional dikawinin sama QR code dan NFC chip. Buat apa? Buat proof of authenticity. Jadi tiap ukiran punya ID. Anti palsu. Anti bajakan. Lo pikir itu halu? Coba tanya brand fashion dunia. Udah banyak yang pakai itu.

Manaya tuh bukan cuma bisnis. Ini statement. Kalau budaya bisa adaptasi. Kalau tradisi bisa jadi tren. Kalau anak muda bisa bangga sama akarnya.

Jadi buat lo yang bilang kriya itu gak cuan, itu mindset lama. Karena yang gak cuan itu biasanya yang gak evolve.

Manaya evolve. Dari pasar tradisional ke panggung nasional. Dari pahat konvensional ke digital tracking. Dari pinggiran Gianyar ke interior vila Australia.

Gak semua UKM punya keberanian kayak gini. Tapi ini bukti: kalau lo serius, bisa. Tapi jangan males. Jangan cuma nunggu pameran. Harus ngebut, harus ngulik. Harus kayak Manaya.

Karena mereka gak nunggu panggilan. Mereka bikin panggungnya sendiri.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top