bisnisumkmonline.com Omah Lurik Jepara , siang bolong. jogja panas. warkop penuh. wifi lemot. scroll-scroll IG, nemu story random soal kriya. kain. lurik. Jepara. wait. lurik? bukan batik? ternyata ada tuh, satu UMKM dari Jepara. namanya Omah Lurik Jepara. awalnya gw kira cuma usaha rumahan biasa. ternyata mereka pameran di Kriyanusa. di Jakarta. stand-nya rame. literally rame. orang antre buat beli kain lurik. ada yang foto-foto doang. ada juga bule yang nanya, “this is handmade?”
yes bro. handmade. bukan yang cap-cap KW di Pasar Baru. ini lurik asli. ditenun manual. bukan pakai mesin Jepang yang bunyinya kayak printer dot matrix. bukan juga kayak kaos distro yang sablonan tipis gampang luntur. ini real deal. waktu gw tanya-tanya ke pengrajinnya, dia cerita. panjang. sambil ngelus kain lurik kayak lagi pegang bayi sendiri.
cerita bermula dari satu keluarga. di Jepara. dulu, neneknya penenun. ibu juga. tapi sempet vakum. karena katanya “kain lurik udah gak laku.” boom. sedih banget. padahal kain itu warnanya cakep. motifnya filosofis. bukan sekadar garis-garis. tiap motif punya nama. ada gadhung melati, ada juga tumpal kawung. tiap pola, itu kayak pesan moral zaman dulu. kayak kode etik leluhur.
si owner Omah Lurik ini namanya Mbak Retno. dia balik ke Jepara pas pandemi. bosen kerja remote di Jakarta. akhirnya iseng buka gudang. nemu alat tenun tua. berdebu. jamuran. tapi masih bisa dipake. terus dia mulai posting di TikTok. gila sih. literally cuman rekaman suara alat tenun bunyi “tuk-tuk” doang. eh viral. FYP. jutaan views. orang mulai nge-DM, “bisa beli gak mbak?” dan dari situ, Omah Lurik lahir ulang. bukan sekadar usaha. tapi movement.
now they back. bukan cuma produksi, tapi edukasi. Mbak Retno ngajak anak-anak muda desa buat belajar tenun. dia gak pake bahasa ribet. “yang penting, kita jaga tradisi. tapi tetep cuan.” terus mereka mulai kolaborasi. sama brand-brand lokal. dari Sejauh Mata Memandang, sampe SukkhaCitta. bahkan katanya, sempet ada DM dari buyer Jepang. mereka interested banget sama motif lurik “truntum.” katanya itu mirip dengan konsep wabi-sabi. damn deep.
yang bikin beda Omah Lurik tuh satu. storytelling-nya. bukan sekadar jual kain. tapi jual makna. di tiap kemasan, ada selembar kertas kecil. isinya cerita tentang si motif. kadang ada quotes. kadang puisi. kadang… ya cuma curhatan soal gimana susahnya nyari pewarna alami. “daun indigo-nya kebanjiran kemarin, jadi warna agak pudar ya mbak, sorry.” tapi itu justru bikin orang makin sayang. makin ngerasa ini bukan sekadar produk. ini warisan.
- Tas Gabag Melenggang ke Pasar Dunia Dengan Inovasi Tas Thermal
- Brodo, Bisnis Footwear Kekinian yang Sukses di Pasaran
- Investasi Saham
- Panduan Trading Forex Sukses
- Tips Mengatur Keuangan Perusahaan
tapi ya ga semulus itu. tahun lalu mereka sempet di-notice sama salah satu retail besar. gak usah disebut lah. you know who. ditawarin kerjasama. skema consignment. tapi harga ditekan. motif disuruh ubah biar “lebih modern.” waktu itu Mbak Retno almost nyerah. ada tekanan. ada gaslighting. tapi dia bilang gini ke timnya, “kalau kita ngikutin pasar, kita jadi pabrik. bukan lagi pengrajin.”
dan dia nolak. instead, mereka pilih jalan tikus. jualan via website. pake SEO organik. rajin banget ikut event kayak Kriyanusa. pernah juga ikutan Inacraft. tahun ini kabarnya mau ekspor kecil-kecilan ke Belanda. no middleman. langsung buyer. dan itu semua dilakuin sambil tetep ngajarin bocah-bocah SMA lokal cara bikin lurik. this is not just business. it’s resistance.
gw sempet ngobrol juga sama pengunjung Kriyanusa yang beli satu set kain lurik buat nikahan. dia bilang, “kami gak mau pake jas. pengen pake baju lurik custom dari Omah Lurik. biar kayak ningrat Jawa, tapi yang rebel.” and damn, that hit. ini bukan nostalgia murahan. ini re-claiming budaya. with swag.
data BPS 2023 bilang, sektor kriya nyumbang lebih dari 15% dari total ekspor industri kreatif Indonesia. tapi ironisnya, banyak pelakunya justru gak punya akses promosi yang layak. Omah Lurik buka jalan. bukan cuman buat dia sendiri. tapi juga buat UMKM lain. bahkan sekarang, katanya udah ada 17 pengrajin muda yang gabung. sebagian besar cewek. ada juga yang dulunya kerja pabrik, resign, terus full-time tenun.
oh ya. penting. mereka juga concern soal sustainability. pake pewarna alami. daun, kulit pohon, bunga. prosesnya ribet. bisa seminggu buat satu batch. tapi hasilnya beda. bukan yang toxic bikin alergi. dan yang paling penting, gak ngotorin sungai. inget kasus di Bandung? sungai Citarum yang warnanya kayak pelangi karena limbah tekstil? nah, Omah Lurik gak mau jadi bagian dari itu.
ada satu quote dari Mbak Retno yang gw catet: “kita ini bukan cuma bikin kain. kita bikin narasi.” dan itu yang bikin gw percaya, Omah Lurik bukan sekadar UKM. mereka kayak pengacara budaya. bawa pasal-pasal tak tertulis tentang warisan leluhur. dan mereka buktikan di ruang publik. bukan lewat teori. tapi lewat produk.
so next time lo liat lurik, jangan cuma mikir “ih jadul.” coba denger suara alat tenun itu. itu bukan suara zaman dulu. itu suara yang masih hidup. suara yang berontak. dan yang pasti, suara yang bikin lo sadar… bahwa Jepara bukan cuma tentang ukiran kayu. tapi juga garis-garis tenun, yang nyeritain kita semua.
dan itu semua. dari satu nama: Omah Lurik Jepara.