Pelajaran dari Pandemi dan Tech Winter , Otak manusia mempunyai mekanisme mencari pleasure dan menghindari pain. Konsumen mengingat merek karena kebiasaan yang dibangun merek tersebut. Untuk itu, merek perlu membangun kebiasaan yang membuat konsumen bisa loyal di segala kondisi.
P andemi sepertinya sudah memasuki lembaran akhir, kemacetan Jakarta sudah kembali Pada awal masa pandemi, perusahaan rintisan digital terbagi menjadi dua. kelompok yang dipaksa “puasa akibat dampak pandemi dan kelompok yang “banjir berkah Kelompok yang pertama, di antaranya pemain ride hailing yang merasakan sepinya order karena orang mengurangi aktivitas di luar rumah.
Ada juga pemain online travel agent yang harus ikut berbagi penderitaan dengan maskapai penerbangan dan hotel yang sepi pengunjung. Kelompok kedua, antara lain pemain marketplace, health technology. pemain online grocery, penyedia jasa education technology, food delivery, dan tak terkecuali e-wallet. Mereka yang terpaksa harus beraktivitas di luar rumah selama pandemi mulai mengadopsi platform digital untuk meminimalkan risiko infeksi
Di sisi lain, pemain-pemain offline dipaksa mengencangkan ikat pinggang karena konsumen “eksodus ke ortline. Tidak sedikit yang mengurangi jumlah gerainya akibat sepinya pengunjung Menariknya, ketika kini pandemi sepertinya sudah akan berakhir, pebisnis offline mulai melihat titik cerah di ujung jalan sebab merasakan bisnis yang mulai menggeliat Pertanyaannya, bagaimana nasib perusahaan rintisan digital terutama yang dua tahun lalu dapat dunan runtuh?
Perilaku Konsumen
Program paling dasar otak manusia adalah untuk seek pleasure dan avoid pain. Apa saja yang memberikan pleasure akan dikejar apa pun yang memberikan pain akan ditinggalkan Ketika memasuki pandemi, pemberitaan tentang virus joharam yang mengerikan ini begitu intensa Bulan hanya dort media, kita Juga mendengar kabar orang-orang terdekat yang terinfek, dirawat di rumah sakit, bahkan meninggal dunia,
Salak awal pandemi hingga setidaknya akhir tahun lalu, COVID-19 memiliki storytelling yang powerful yang diartikan otak kita sebagai pain. Maka dari itu, kita melakukan segala cara untuk menghindarinya. Kita mulai membatasi aktivitas, berpindah ke kanal konsumsi yang lebih aman, yakni digital. Bahkan, kita berbondong-bondong antre vaksin di tengah melonjaknya gelombang varian Delta pada pertengahan tahun lalu. Tak terkecuali mereka yang selama ini menolak untuk ikut vaksin karena berbeda kepercayaan ataupun sekadar takut disuntik
Perlu disadari bahwa dari sekian banyak orang yang akhirnya memilih untuk pindah menggunakan layanan digital, tidak semuanya melakukannya dengan sukarela. Tidak sedikit dan mereka yang walaupun pindah ke digital, namun melakukannya murni karena terpaksa. Pain yang begitu nyata dari pandemi pada masa itu mengalahkan pain dari ketidaknyamanan menggunakan layanan digital akibat digital literacy
Walaupun eksodus dari offline ke online begitu besar, pemain digital harusnya tidak take it for granted momen tersebut. Hal yang harus dipertimbangkan dan dicankan solusinya adalah bagaimana membuat konsumen yang bermigrasi, walaupun dengan terpaksa, bisa menemukan flow-nya. Dalam limu behavioral science, flow adalah momen ketika seseorang melakukan sesuatu secara otomatis di luar kepala atau dalam Bahasa Inggris, no brainer” Ini bisa terjadi ketika kita bisa menghadirkan experience terbaik yang membuat mereka yang walaupun dipaksa merasa, “eh ternyata
nyaman juga ya, online Ketika perusahaan bisa menghadirkan flow, maka kemungkinan besar konsumen akan bertahan dan tetap menggunakan layanan tersebut, bahkan ketika pandem bortalu
Standar now yang dicart, bukan sekadar standar yang dibuat sendirt, tapi standar yang lebih baik dart experience offline. Artinya, bagaimana menghadirkan experience yang begitu nyaman sehingga ketika pandemi berakhir, konsumen masih tetap memilih untuk bertransakal online.
Ini menjadi penting mengingat pandemi tidak akan terjadi selamanya. Sayangnya, beberapa pemain tampak tidak berbuat banyak untuk memperbaiki hal ini. Banyak pemain digital yang masih bergantung kepada pricing strategi allas bakar uang untuk mendapat bagian “kue” ketimbang menghadirkan experience yang clamik, Kebanjiran order secara mendadak ditanggapi secara complacent sebagai sesuatu yang terjadi berkat jerih payah mereka, ketimbang melihat sebagai keterpaksaan karena “toko sebelah” sedang “libur panjang Realitanya, ketika “toko sebelah sudah kembali dan “libur panjang”, maka mereka harus siap putar otak lagi. Benar saja, ketika pandemi sudah masuk babak akhir, banyak pemain digital yang mengeluh karena omzet mulai turun
Winter Pemain Rintisan Digital
Turunnya omzet bagi sebuah perusahaan digital adalah bencana besar. Mengingat perusahaan rintisan hidup dari satu fundraise ke fundraise lainnya. Dalam hal ini, jembatannya adalah pertumbuhan bisnis dan peningkatan orzat menjadi salah satu indikator Artinya ketika omzet turun, maka jembatan untuk menuju fundraise selanjutnya makin sulit untuk terbangun, Padahal tanpa fundraise, mereka tidak bisa bertahan
Sifat bisnis perusahaan rintisan digital yang bergantung pada skala ketimbang profitability bisa sangat berbahaya jika gagal mendapatkan suntikan modal baru Perusahaan irtisan nondigital biasanya memulai usahanya dengan memperbaik cost structure sehingga perusahaan bisa profit, bahkan dengan skala yang kecil Setelah itu, baru model yang sama diterapkan yakni scale-up sehingga bisnis
Sementara, perusahaan rintisan digital pada umumnya menempatkan profitability sebagai prioritas kedua, sementara skala lebih diutamakan. Logikanya, ketika perusahaan mencapai skala yang besar dan dominan, maka perusahaan bisa puriya kontrol terhadap harga dan pasar sehingga profitability bisa dikejar. Sayangnya, tanpa suntikan modal, perusahaan yang belum profit tersebut akan kehabisan darah dan mati. Maka dari itu, pertumbuhan bisnis menjadi salah satu syarat mutlak untuk bertahan, bahkan ketika belum profit.
Winter semakin kejam menerpa perusahaan rintisan digital ketika resesi ekonomi melanda dunia dan memaksa banyak perusahaan venture capital yang notabene adalah sumber pendanaan perusahaan rintisan makin selektit menanamkan Investasi. Jika dulu skala dan growth menjadi pegangan utama, maka adanya resesi, ketika semua bisnis menanggung risiko, profitability menjadi syarat utama untuk mendapatkan suntikan dana. Permasalahannya, pemain rintisan digital sudah terlanjur bergantung pada strategi-strategi bakar uang yang butuh waktu dan effort tidak sedikit untuk balik arah mengejar profitability. Apalagi, ketika skala yang diharapkan belum tercapa
Situasi makin parah karena kombinasi dan sulitnya mendapatkan pertumbuhan akibat mulai kembalinya konsumen ke offline channel dan semakin selektifnya venture capital dalam menggelontorkan uang. Ini menjadi lingkaran setan yang rumit. Perusahaan sulit dapat growth dari perubahan perlaku konsumen, sementara venture capital makin menuntut profitability Sayangnya, banyak dari mereka sudah terlanjur besar skatanya dengan posisi tidak profit sehingga membuat mereka susah untuk mengejar profit diam jangka pendek. Ketika itu teras, make growth semakin sulit dicapai Lingkaran ini terus berputar dan memaksa banyak perusahaan rintisan untuk tank rem daturat dan melepas banyak pegawainya untuk mengurangi beban operasional
Sekolah Discount Hunter Salah satu hal menarik yang saya temui
mengenal interaksi konsumen dengan layarlar digital adalat ada kecenderungan count untuk menjadi pre sensitive to barbelang di platform anne Batam ads orang yang office, memilih untuk batal berb online langganannya karena tidak menawarkan kon saya melat sutari dua perspektif menyimpan memon penting ia pun dengan suatu saying Katsaso poman digit
digital tersebut dengan diakon. Secara bawah sedar Ini menciptakan blocker ketika konsumen Ingin bertransakal online. “Kalau nggak ada discount, ys, nggak usah belanja” Ini sama seperti bagaimana kita
membandingkan dua mobil dari dua produsen yang berbeda dengan perlakuan terhadap harganya berbeds. Misalnya, salah satu barrier dari merek mobil Asia yang menjual mobil dengan harga yang sama dengan merek Jerman adalah respon konsumen.
baca juga
“Wah, harga segitu udah bisa dapat BMW atau Mercedes, ini baru dapat mobil Asia. Padahal, harga ditentukan bukan dari di mana mobil itu dibuat, melainkan dari teknologinya. Namun, asosiasi yang sudah menempel erat membuat orang enggan untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk merek yang diasosiasikan sebagai “kelas duar terutama ketika merek “kelas satu yang mungkin berbeda spesifikasi juga berada di
range harga yang sama. Kedua, adanya sunk cost fallacy, Sunk cost merupakan biaya yang sudah dikeluarkan lepas dari jadi atau tidaknya seseorang bertransaksi. Biaya yang dimaksud di sini tidak selalu dalam bentuk pengeluaran rupiah, tapi juga bisa berupa effort, waktu, dan lain sebagainya. Ketika bertransaksi online, sebagian orang tidak mengeluarkan effort yang signifikan, hanya kuota internet yang biasanya sudah masuk ke pengeluaran rutin mereka Artinya, sunk cost untuk membuka aplikasi online sangatlah kecil.
Sementara, ketika seseorang belanja offline, waktu, ongkos, dan effort yang dikeluarkan untuk datang ke toko sangatlah berharga. Artinya, sunk cost offline transaction lebih besar dibandingkan online. Sunk cost inilah yang membuat pengguna cenderung akan tetap bertransaksi secara offline, bahkan ketika sesampainya di toko ternyata tidak ada diskon. “Ah, sudah jauh-jauh ke sini masak iya, nggak beli.” Jadi, minimnya sunk cost di online experience membuat konsumen lebih mudah untuk membatalkan transaksi dan pindah ke tempat lain ketika tidak ada diskon.
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari fenomena tersebut. Pertama, short term result tidak selalu sejalan dengan long term result. Ketika konsumen menggunakan produk kita, tidak berarti konsumen akan terus menggunakan produk kita. Marketer harus melihat the why dari kenapa orang memilih kita ketimbang sekadar fakta bahwa mereka memilih kita. Kedua, kesempatan yang didapat akibat situasi tertentu, seperti pandemi, harus dimanfaatkan untuk menciptakan consumer flow.